Menjadi perusahaan tambang emas dan perak terbesar di dunia, Freeport Indonesia seakan menjadi raja di negeri orang. Melakukan penambangan secara besar-besaran di tanah Papua, Indonesia sejak tahun 1967 justru tidak memberikan keuntungan besar bagi Indonesia padahal kekayaan besar yang nilainya sangat fantastis seharusnya bisa memberikan kemakmuran bagi Indonesia khususnya bagi rakyat Papua akan tetapi selama ini hanya bencana yang seakan mendera tanah Papua dengan menghiasi pulau segudang emas tersebut dengan ornamen lubang menganga dan sangat memprihatinkan jika dilihat dari udara.
Pemerintah mengambil tindakan tegas bagi para perusahaan yang melakukan penambangan untuk memproduksi hasil tambangnya di negeri sendiri dengan cara membuat Smelter. Dengan membangun smelter membuat perusahaan yang berbasis di indonesia baik dari pihak luar maupun dalam negeri agar bisa melakukan pengerjaan hasil tambang karena memiliki pabrik pemurnian sendiri dan tentunya keuntungan akan tetap bisa memihak pada Indonesia.
Upaya pembuatan smelter ini juga telah menjadi amanat undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang pertambangan mineral dan batu bara. Akan tetapi jika masih didapati perusahaan penambang yang tidak mengindahkan aturan pemerintah ini maka dengan keras pemerintah meminta perusahaan untuk menutup atau memberhentikan produksinya.
Hal ini juga dilontarkan oleh Menko Perekonomian Hatta Rajasa, beliau dengan tegas mengancam apabila masih didapati perusahaan yang membangkang dan membandel dengan tidak membangun smelter, maka pemerintah akan meminta paksa perusaahaan untuk menghentikan produksinya.
"Yang tidak bikin smelter silahkan tutup saja produksinya", ujar ketua umum PAN tersebut di Hotel Grand Cempaka (31/7).
Selama ini pihak Freeport keberatan atas seruan pemerintah untuk membangun pabrik pemurnian sendiri di Indonesia, alih-alih hal tersebut bisa merugikan pihak Freeport sendiri.
Namun Freeport masih mencoba untuk melakukan perundingan dengan memohon keringanan serta dispensasi kepada pemerintah Indonesia karena Freeport masih berkeinginan untuk tetap di Indonesia.
Memang perusahaan yang bermarkas di Amerika Serikat ini selama ini mengelola hasil tambangnya di luar Indonesia dengan menggandeng pihak swasta dalam pengelolaan biji emas dan tembaga yang diperolehnya dari tanah Papua, maka dengan itu pembuatan Smelter di Indonesia dirasa masih berat dan belum bisa memenuhi aturan UU Nomor 4 Tahun 2009 itu hingga 100%.
"Saya merasa ini menunjukkan komitmen untuk mendukung kebijakan pemerintah. Namun, tentunya tidak bisa langsung 100 persen, seluruhnya dikelola di dalam negeri, jadi kami meminta bantuan pemerintah apakah ada dispensasi atau semacamnya", kata Presdir Freeport Indonesia Rozik B. Soetjipto.
Pernyataan Rozik ini disampaikan karena setelah beberapa tahun yang lalu Freeport juga telah menanamkan sahamnya di PT Smelting yang berlokasi di Kabupaten Gresik, Jaktim. Perusahaan tersebut memang mengelola 30 persen bahan baku tembaga dan emas mereka. Rencananya 60 persen sisanya akan dialokasikan ke dua mitra tersebut.
Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 ini seakan menjadi batu besar yang menghadang di depan PT Freeport untuk meraup keuntungan sebesar-besarnya atas Indonesia. Permintaan keringanan tersebut sebagai bargaining pasca PT Freeport Indonesia setuju dan penandatanganan untuk mendevistasikan sahamnya, memperluas lahan, dan melakukan IPO. Dengan penandantanganan tersebut Rozik berharap pemerintah bisa memberikan keleluasaan untuk melakukan ekspor yang harus kesemuanya dikelola oleh dalam negeri.
0 komentar:
Posting Komentar